Bahasa Perjuangan Tidak Mengenal Memelas, Ya.. Kami Ingin Syariat Islam!
Minggu, 23 September 2018
Edit
Akhwat Muslimah - Oleh: Nasrudin Joha
_Tuan, _
Kami ingin mengunggah bahasa santun, bahasa bijak dengan ungkapan kiasan, dimana setiap penggalan kata, dapat mengantarkan tuan kepada maksud kalimat.
Kami ini, pewaris perjuangan Natsir. Kami ini, generasi HAMKA yang kaya akan sastra, ungkapan kata mampu kami abstraksi untuk mengunggah makna dan substansi.
Tapi tuan, ini soal standar. Ini soal maqom. Kami menghadapi generasi perusak bangsa, yang tak paham akan sastra, tak sanggup menangkap pesan dari untaian kata, tdk bisa menangkap etika dan tata krama. Politik menjadi begitu picik, rendah, dengan mengunggah syahwat kekuasaan sebagai Tujuan utama.
Ruang diskusi dikebiri, kritik dan masukan dianggap ancaman. Setiap kami, mengunggah kalimat panjang tentang visi besar untuk membangun bangsa ini, kami dituding satu kata yang sederhana tetapi menyakitkan : MAKAR.
Karena itu tuan,
Kami terpaksa menggunakan bahasa telanjang, ungkapan vulgar, bahkan kami mengunggah agitasi perubahan dengan bahasa-bahasa jalang. Bahasa jalanan, yang terbiasa dengan debu dan deru-deru bising kendaraan.
Bukan kami tak bisa beretika, tetapi yang kami hadapi bukanlah tuan yang menjunjung tinggi moral dan etika. Bukan tuan, yang memiliki visi dan karakter negarawan. Yang kami hadapi, politisi-politisi busuk dan para begundal partisan.
Mereka tidak mengenal sastra, tidak juga etika. Mereka terbiasa dengan syair selangkangan, menyebut bahasa tubuh dengan ungkapan nista dan durjana.
Karena itu, biarkan kami mengunggah syair-syair berdarah, mengoyak dan menguliti kulit-kulit kepalsuan, menggorok keangkuhan yang terbalut bias kesahajaan. Tuan, bukan tuan yang kami maksud, bukan.
Yang kami maksud adalah mereka yang berlindung dibalik jargon aku Pancasila, NKRI harga mati, berlindung pada kesepakatan pendiri bangsa. Tuan, kalau mau jujur negeri ini dibangun diatas pilar-pilar pengkhianatan.
Kakek buyut kami, mengerahkan segenap daya dan upaya, sehingga menghasilkan ijtihad piagam Jakarta. Lantas, kenapa piagam itu sirna ? Siapa yang mengkhianati pendiri bangsa ? Lantas, kenapa kami dihalangi untuk melanjutkan apa yang telah dirintis kakek buyut kami ?
Ah tuan, kami telah terbiasa dengan caci, kami sudah berdamai dengan makian. Kesulitan dan kesempitan hidup, tidak menjadi penghalang perjuangan. Karena kami yakin, Tuhan kami dan Tuhan tuan, Allah SWT akan selalu hadir memberikan pertolongan.
Tuan, sadarlah. Kami hanya ingin taat, kami menyerah dengan pikiran kami, kami ingin kembali pada hukum Rabb semesta alam. Kami rindu syariat Islam.
Tuan, tegas kami katakan : KAMI INGIN SYARIAT ISLAM MENGATUR NEGERI INI. [].