Inilah Balasan Seorang Suami Yang Tidak Adil Terhadap Istri-Istrinya
Minggu, 13 Desember 2015
Edit
Al-Ustadz Mukhtar bin Rifai
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
مَنْ كَانَ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ
“Siapa saja orangnya yang memiliki
dua istri lalu lebih cenderung kepada salah satunya, pada hari kiamat
kelak ia akan datang dalam keadaan sebagian tubuhnya miring.”
Takhrij Hadits Hadits ini diriwayatkan
oleh Abu Dawud (no. 2133), an-Nasa’i (2/157), Tirmidzi (1/213),
ad-Darimi (2/143), Ibnu Majah (1969), Ibnu Abi Syaibah (2/66/7), Ibnul
Jarud (no. 722), Ibnu Hibban (no. 1307), al-Hakim (2/186), al-Baihaqi
(7/297), ath-Thayalisi (no. 2454), dan Ahmad (2/347, 471) melalui jalur Hammam bin Yahya, dari Qatadah, dari an-Nadhr bin Anas, dari Basyir bin Nuhaik, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma.
Di dalam Sunan at-Tirmidzi, hadits di atas diriwayatkan dengan lafadz,
إِذَا كَانَ عِنْدَ الرَّجُلِ امْرَأَتَانِ فَلَمْ يَعْدِلْ بَيْنَهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ سَاقِطٌ
“Apabila seorang laki-laki memiliki dua
istri namun tidak berlaku adil di antara keduanya, pada hari kiamat
kelak ia akan datang dalam keadaan sebagian tubuhnya miring.”
Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Al-Hakim menghukumi hadits ini sahih berdasarkan syarat asy-Syaikhain
(al-Bukhari & Muslim). Adz-Dzahabi dan Ibnu Daqiqil ‘Ied sepakat
dengan al-Hakim, sebagaimana dinukilkan oleh al-Hafizh dalam at-Talkhis (3/201) dan beliau pun menyepakatinya.
Al-Hafizh menambahkan bahwa al-Imam at-Tirmidzi menghukumi hadits ini gharib padahal beliau sendiri menyatakannya sahih. Abdul Haq mengatakan, ‘Hadits ini tsabit, namun ada cacatnya, yaitu Hammam sendirian meriwayatkannya.’
Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Cacat
semacam ini tidak membuat hadits menjadi lemah. Oleh karena itu, para
ulama secara berturut-turut menyatakannya sahih.” (Silsilah ash- Shahihah no. 2017, al-Albani)
Bersikap Adil kepada Istri
Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad
menerangkan makna hadits di atas, “… Dengan bersikap adil kepada para
istri dalam hal giliran bermalam, nafkah, dan pergaulan. Adapun perasaan
yang ada di dalam hati, hal ini di luar kemampuan manusia dan
dikembalikan kepada Allah Subhanahu wata’ala. Meski demikian, seorang
suami tidak boleh bersikap lebih cenderung kepada istri yang paling ia
sayangi dan cintai. Ia harus bersikap adil dalam hal giliran bermalam,
nafkah, dan segala sesuatu yang ia mampu.
Adapun perasaan di hati, tidak ada yang
mampu menentukannya selain Allah k. Akan tetapi, tidak sepantasnya
seorang suami lebih condong kepada salah seorang istrinya. Yang
seharusnya ia lakukan adalah memenuhi hak masingmasing tanpa menyakiti
istri yang lain.
Membagi di antara istri dilakukan
sebatas kemampuan yang ia miliki. Jika ada kecenderungan kepada salah
seorang istri, hendaknya ia tetap bertakwa kepada Allah Subhanahu
wata’ala agar sikap tersebut tidak mendorongnya untuk menghilangkan atau
mengurangi hak istri lainnya, atau hanya memberikan sedikit saja dari
hak mereka padahal ia mampu. Kewajiban suami adalah bersikap adil dan
seimbang di antara para istri.”
Asy – Syaikh Abdu l Muhsin melanjutkan,
“Abu Dawud membawakan hadits Abu Hurairah z di atas untuk menunjukkan
bahwa balasan yang diperoleh seorang hamba sesuai dengan jenis amalan
yang ia perbuat. Pada hari kiamat kelak, ia datang dengan sebelah tubuh
yang miring karena saat di dunia ia lebih condong kepada salah seorang
istri. Hal ini berlaku pada hal-hal yang sebenarnya ia mampu untuk
bersikap adil, namun ia justru bersikap tidak sepantasnya. Orang semacam
ini akan datang pada hari kiamat kelak dengan sebelah tubuh yang
miring.” (Syarah Abu Dawud, al-Abbad)
Oleh sebab itu, seorang muslim yang
memiliki lebih dari seorang istri harus benar-benar berjuang untuk
bersikap adil. Alangkah beratnya hukuman dari Allah Subhanahu wata’ala
yang harus dijalani pada hari kiamat nanti apabila sikap adil tersebut
tidak diupayakan dengan maksimal. Dalam hal-hal yang dapat diberlakukan
sikap adil, seorang suami harus mampu memberikannya.
Apabila kepada salah seorang istri ia
dapat bersikap romantis dengan kata-kata dan wajah berseri, kepada istri
yang lain pun harus bersikap demikian. Memberikan waktu senggang untuk
berbincangbincang harus dapat terwujud kepada semua istri. Hadiah tidak
hanya diberikan kepada salah seorang istri, namun kepada seluruh istri.
Demikian pula halnya perhatian kepada anak-anaknya, haruslah sama antara
anak dari istri yang satu dengan istri lainnya.
Perhatikanlah teladan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,! Betapa pun dirasa berat, beliau tetap berjuang untuk bersikap adil. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, tetap memerhatikan waktu menggilir meskipun beliau sedang sakit. Padahal keadaan beliau benar-benar payah.
Al – Imam al – Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari ‘Aisyah x bahwa pada saat sakit yang berujung wafatnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam selalu menanyakan,
أَيْنَ أَنَا غَدًا، أَيْنَ أَنَا غَدًا؟
“Di manakah aku besok? Di manakah aku besok?”
Beliau berharap di rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha. Istri-istri beliau yang lain pun mengizinkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berada di rumah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha sampai meninggalnya. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata kepada Urwah bin az-Zubair rahimahullah, “Dahulu, Rasulullah tidak melebihkan salah seorang di antara kami (para istri) dalam jadwal giliran bermalam.
Dahulu, kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, jarang sekali hari berlalu kecuali beliau pasti berkeliling di antara kami semua. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam mendekati tiap istri tanpa berhubungan sampai pada istri yang memiliki giliran lalu menginap (bermalam) di sana. Ibnu Qudamah rahimahullah
mengatakan, ”Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara
ulama tentang wajibnya menggilir dan kesamaan waktu untuk menggilir di
antara para istri.”
Adapun dalam hal besar kecilnya rasa
cinta dan ketertarikan untuk berhubungan badan, hal ini di luar
kemampuan hamba. sebagaimana tercelanya orang yangmmemakai dua potong
pakaian kedustaan.m(al-Minhaj, 14/336)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
memberikan permisalanmseperti dalam hadits di atas agar paramperempuan
menjauhi perbuatan tersebut,mkarena akibat yang ditimbulkannyamtidaklah
remeh. Perbuatan itu bisammerusak hubungan suami dengan simmadu yang
dipanas-panasi dan bisanmembuat kebencian di antara keduanya,nsehingga
perbuatan tersebut seperti sihir yang bisa memisahkan antara suami dan
istrinya. (Fathul Bari 9/394—395) Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Silakan Copy Artikel yang ada di sini, tapi cantumkan sumbernya http://akhwatmuslimahindonesia.blogspot.com/