Lainnya

Inilah Balasan Seorang Suami Yang Tidak Adil Terhadap Istri-Istrinya

Al-Ustadz Mukhtar bin Rifai
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
مَنْ كَانَ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ
“Siapa saja orangnya yang memiliki dua istri lalu lebih cenderung kepada salah satunya, pada hari kiamat kelak ia akan datang dalam keadaan sebagian tubuhnya miring.”

Takhrij Hadits Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2133), an-Nasa’i (2/157), Tirmidzi (1/213), ad-Darimi (2/143), Ibnu Majah (1969), Ibnu Abi Syaibah (2/66/7), Ibnul Jarud (no. 722), Ibnu Hibban (no. 1307), al-Hakim (2/186), al-Baihaqi (7/297), ath-Thayalisi (no. 2454), dan Ahmad (2/347, 471) melalui jalur Hammam bin Yahya, dari Qatadah, dari an-Nadhr bin Anas, dari Basyir bin Nuhaik, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma.
Di dalam Sunan at-Tirmidzi, hadits di atas diriwayatkan dengan lafadz,
إِذَا كَانَ عِنْدَ الرَّجُلِ امْرَأَتَانِ فَلَمْ يَعْدِلْ بَيْنَهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ سَاقِطٌ
“Apabila seorang laki-laki memiliki dua istri namun tidak berlaku adil di antara keduanya, pada hari kiamat kelak ia akan datang dalam keadaan sebagian tubuhnya miring.”
Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Al-Hakim menghukumi hadits ini sahih berdasarkan syarat asy-Syaikhain (al-Bukhari & Muslim). Adz-Dzahabi dan Ibnu Daqiqil ‘Ied sepakat dengan al-Hakim, sebagaimana dinukilkan oleh al-Hafizh dalam at-Talkhis (3/201) dan beliau pun menyepakatinya.
Al-Hafizh  menambahkan bahwa al-Imam at-Tirmidzi menghukumi hadits ini gharib padahal beliau sendiri menyatakannya sahih. Abdul Haq mengatakan, ‘Hadits ini tsabit, namun ada cacatnya, yaitu Hammam sendirian meriwayatkannya.’
Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Cacat semacam ini tidak membuat hadits menjadi lemah. Oleh karena itu, para ulama secara berturut-turut menyatakannya sahih.” (Silsilah ash- Shahihah no. 2017, al-Albani)


Bersikap Adil kepada Istri
Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad menerangkan makna hadits di atas, “… Dengan bersikap adil kepada para istri dalam hal giliran bermalam, nafkah, dan pergaulan. Adapun perasaan yang ada di dalam hati, hal ini di luar kemampuan manusia dan dikembalikan kepada Allah Subhanahu wata’ala. Meski demikian, seorang suami tidak boleh bersikap lebih cenderung kepada istri yang paling ia sayangi dan cintai. Ia harus bersikap adil dalam hal giliran bermalam, nafkah, dan segala sesuatu yang ia mampu.
Adapun perasaan di hati, tidak ada yang mampu menentukannya selain Allah k. Akan tetapi, tidak sepantasnya seorang suami lebih condong kepada salah seorang istrinya. Yang seharusnya ia lakukan adalah memenuhi hak masingmasing tanpa menyakiti istri yang lain.
Membagi di antara istri dilakukan sebatas kemampuan yang ia miliki. Jika ada kecenderungan kepada salah seorang istri, hendaknya ia tetap bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala agar sikap tersebut tidak mendorongnya untuk menghilangkan atau mengurangi hak istri lainnya, atau hanya memberikan sedikit saja dari hak mereka padahal ia mampu. Kewajiban suami adalah bersikap adil dan seimbang di antara para istri.”
Asy – Syaikh Abdu l Muhsin melanjutkan, “Abu Dawud membawakan hadits Abu Hurairah z di atas untuk menunjukkan bahwa balasan yang diperoleh seorang hamba sesuai dengan jenis amalan yang ia perbuat. Pada hari kiamat kelak, ia datang dengan sebelah tubuh yang miring karena saat di dunia ia lebih condong kepada salah seorang istri. Hal ini berlaku pada hal-hal yang sebenarnya ia mampu untuk bersikap adil, namun ia justru bersikap tidak sepantasnya. Orang semacam ini akan datang pada hari kiamat kelak dengan sebelah tubuh yang miring.” (Syarah Abu Dawud, al-Abbad)
Oleh sebab itu, seorang muslim yang memiliki lebih dari seorang istri harus benar-benar berjuang untuk bersikap adil. Alangkah beratnya hukuman dari Allah Subhanahu wata’ala yang harus dijalani pada hari kiamat nanti apabila sikap adil tersebut tidak diupayakan dengan maksimal. Dalam hal-hal yang dapat diberlakukan sikap adil, seorang suami harus mampu memberikannya.
Apabila kepada salah seorang istri ia dapat bersikap romantis dengan kata-kata dan wajah berseri, kepada istri yang lain pun harus bersikap demikian. Memberikan waktu senggang untuk berbincangbincang harus dapat terwujud kepada semua istri. Hadiah tidak hanya diberikan kepada salah seorang istri, namun kepada seluruh istri. Demikian pula halnya perhatian kepada anak-anaknya, haruslah sama antara anak dari istri yang satu dengan istri lainnya.
Perhatikanlah teladan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,! Betapa pun dirasa berat, beliau tetap berjuang untuk bersikap adil. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, tetap memerhatikan waktu menggilir meskipun beliau sedang sakit. Padahal keadaan beliau benar-benar payah.
Al – Imam al – Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari ‘Aisyah x bahwa pada saat sakit yang berujung wafatnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam selalu menanyakan,
أَيْنَ أَنَا غَدًا، أَيْنَ أَنَا غَدًا؟
“Di manakah aku besok? Di manakah aku besok?”
Beliau berharap di rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha. Istri-istri beliau yang lain pun mengizinkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berada di rumah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha sampai meninggalnya. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata kepada Urwah bin az-Zubair rahimahullah, “Dahulu, Rasulullah tidak melebihkan salah seorang di antara kami (para istri) dalam jadwal giliran bermalam.
Dahulu, kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, jarang sekali hari berlalu kecuali beliau pasti berkeliling di antara kami semua. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam mendekati tiap istri tanpa berhubungan sampai pada istri yang memiliki giliran lalu menginap (bermalam) di sana. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, ”Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara ulama  tentang wajibnya menggilir dan kesamaan waktu untuk menggilir di antara para istri.”
Adapun dalam hal besar kecilnya rasa cinta dan ketertarikan untuk berhubungan badan, hal ini di luar kemampuan hamba. sebagaimana tercelanya orang yangmmemakai dua potong pakaian kedustaan.m(al-Minhaj, 14/336)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan permisalanmseperti dalam hadits di atas agar paramperempuan menjauhi perbuatan tersebut,mkarena akibat yang ditimbulkannyamtidaklah remeh. Perbuatan itu bisammerusak hubungan suami dengan simmadu yang dipanas-panasi dan bisanmembuat kebencian di antara keduanya,nsehingga perbuatan tersebut seperti sihir yang bisa memisahkan antara suami dan istrinya. (Fathul Bari 9/394—395) Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.


Silakan Copy Artikel yang ada di sini, tapi cantumkan sumbernya http://akhwatmuslimahindonesia.blogspot.com/

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel